Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku
(Q.S. Ad-Dzariyat [51]: 56)
Ketika
Nabi Muhammad SAW diutus membawa risalah Islam, Jazirah Arab dan
peradaban besar seperti Romawi dan Persia sedang berada pada potongan
sejarahnya yang paling kelam, manusia-manusia di zaman itu kehilangan
arah dan tersesat di belantara kehidupan. Mereka tidak lagi memahami
makna dan hakikat kehidupan dan ke muara mana bahtera kehidupan harus
menuju. Saat Beliau (Nabi Muhammad SAW) melihat itu semua beliau
menjelaskan misi hidup manusia dengan membacakan firman seperti di
atas.
Ibadah,
inilah misi hidup kita. Secara harfiah ibadah adalah ketundukan dan
penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah. Maka makna paling hakiki dari
ibadah adalah menjadikan semua gerak kita, baik gerak fisik maupun gerak
pikiran dan jiwa, senantiasa mengarah kepada apa yang dicintai dan
diridhai Allah SWT. Dalam makna ini seluruh pikiran, seluruh perasaan,
ucapan dan tindakan baik ketika kita hanya berhubungan dengan Allah (ibadah mahdhah) maupun ketika kita berhubungan dengan sesama dan lingkungan (ibadah ghoiru mahdhah) akan bergerak menuju satu titik ”Allah SWT”, begitulah hingga akhirnya dengan sadar kita berikrar, Katakanlah
sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah Tuhan semesta Alam (Q.S. Al-An’am [6]: 162).
Ada beberapa alasan yang dapat dijadikan bahan renungan, mengapa kita
harus beribadah kepada Allah SWT. Diawali dengan pernyataan bahwa ibadah
bukan keharusan melainkan kebutuhan. Pertama, karena manusia
butuh kepada Allah, artinya Allah lah yang telah mencukupkan segala
sesuatunya. Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi ini tidak
dengan tangan kosong melainkan dengan kecukupan bekal, pedomannya
adalah AlQur’an dan sunnah utusan-Nya Muhammad SAW. Manusia juga diberi
akal untuk mempertahankan hidupnya. Semua itu menunjukkan bahwa
manusia tidak berdaya, bukanlah apa-apa dan sangat bergantung
kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya:
Hai
manusia kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah yang
Maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha terpuji (Q.S. Fathir [35]: 15).
Hal yang
paling penting adalah bagaimana manusia menumbuhkan kesadaran akan
rasa butuh di dalam hati kepada Allah, salah satu bukti bahwa kita
butuh kepada Allah adalah dengan doa. Doa merupakan manifestasi dari
rasa butuh kita kepada Allah, sebagaimana yang Allah perintahkan dalam
firman-nya:
Dan
Tuhanmu berfirman, berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan kuperkenankan
bagimu. Sesungguhnya, orang –orang yang menyombongkan diri dari
menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina (Q.S. Al-Mukmin [40]: 60).
Dengan
demikian tidak ada yang dapat mewakili dan mengungkap perasaan butuh,
seperti wujud hamba yang sedang berdoa dengan penuh haru biru. Hal ini
menunjukkan mengapa Nabi SAW menyatakan bahwa:” Doa itu adalah Ibadah”
(H.R. Abu Daud dan At-Tirmidzi). Maka ketika seorang sahabat selalu
langsung meninggalkan masjid setelah shalat tanpa berdoa, Nabi pun
menegurnya dengan pertanyaan, “Apakah kamu sama sekali tidak punya kebutuhan kepada Allah?” sahabat itupun terperanjat dan menyadari kekhilafannya, maka ia pun senantiasa berdoa.
Kedua,
ibadah merupakan hak Allah atas manusia. Allah sebagai Pencipta alam
dan seisinya mempunyai hak atas apa-apa yang diciptakan-Nya, yang
sekaligus menjadi kewajiban yang harus dipenuhi oleh mahkluk-Nya yaitu
ibadah (mengabdi).
Ketiga,
Ibadah adalah mata air kebebasan. Kebebasan di sini dimaknai sebagai
kebebasan yang membebaskan bukan kebebasan yang membelenggu. Pada
dasarnya semua manusia pasti menjadi ‘abdun (hamba). Ada
manusi yang menghamba pada popularitas, maka ketika menjadi hamba ini
penampilan dan gaya hidup menjadi prioritas dalam hidupnya, sekalipun
harus menghalalkan segala cara. Ada yang menjadi hamba jabatan yang
takut jabatannya akan tumbang, hingga ketakutan-ketakutan tersebut
menjadi belenggu yang menyesakkan hati. Akan tetapi jika segala
sesuatunya dipersembahkankan kepada Allah maka tidak ada ketakutan yang
merasuki jiwanya kecuali harapan akan ridha dan surga-Nya.
Keempat,
Ibadah merupakan makanan ruhani. Manusia seringkali tidak proporsional
dan tidak adil dalam memahami dan memberikan perhatian terhadap
kebutuhan kedua komponen yang ada dalam dirinya yaitu jasmani dan
ruhani. Manusia tidak pernah salah dalam mengenali dan memenuhi
kebutuhan jasmaninya, organ-organ tubuh seperti, mata, hidung, mulut,
dan berapa banyak materi yang dikelurkan untuk perawatan, suplemen,
makanan yang bergizi, fasilitas kenyamanan dll untuk mencukupinya. Oleh
karena itu kita harus proporsional dalam memenuhi kebutuhan ruhani
kita dengan memperbanyak amal shalih, berdzikir selain dari ibadah
pokok (mahdhah).
Kelima,
ibadah adalah ujian Rabbani. Mengapa demikian? Pada kenyataan
sehari-hari sering kita lihat ujian sebagai sarana untuk mengetahui
kemampuan seseorang dalam bidang tertentu. Sebagai contoh, bagi siswa
atau mahasiswa, ujian menjadi syarat mutlak yang harus dilewati untuk
naik ke jenjang yang lebih tinggi pada lembaga pendidikan, maka
demikian juga dengan perintah beribadah. Selama berada di kampus
kehidupan dunia sebagai sarana ujian untuk naik ke jenjang berikutnya
yaitu kehidupan akhirat, maka yang menjadi ukuran adalah seberapa
banyak amal yang berstatus sebagai ibadah kepada Allah. Jika amalan
yang berstasus ibadah lebih banyak timbangannya dari pada amalan yang
tidak berstasus ibadah (sia-sia), maka surga menjadi haknya.
Sebaliknya, jika amalan yang berstasu ibadah lebih sedikit daripada
amalan yang sia-sia/keburukan maka neraka tidak bisa ditolak.
Oleh
karena itu niat dalam amal menjadi sangat penting, karena niat menjadi
awal penentu bagi setiap amalan kita sebagaimana dalam kaidah fikih “al-umuru bimaqashidiha”
setiap amalan bergantung kepada niatnya, hendaklah kita bertanya
kepada hati nurani kita yang tidak pernah salah sebelum melakukan
sesuatu, untuk siapakah amalan kita diperuntukkan? Atau karena sipakah
kita melakukan sesuatu?
Menurut Ibnu Sina, ada beberapa tipe manusia dalam kaitannya dengan ibadah. Pertama adalah tipe pedagang. Tujuan pokok seseorang yang berdagang ialah mendapatkan keuntungan, sama halnya seseorang melakukan ibadah, dalam hal ini Ibadah Mahdhah.
Ia beribadah adalah demi memperoleh imbalan yang menguntungkan yaitu
surga. Sebagaimana dikisahkan, suatu ketika udara sangat panas dan
kerongkongan khalifah Umar r.a serasa terbakar. Beliau lalu meminta
segelas air, namun sebelum air dihidangkan tiba-tiba beliau mendengar
seseorang membaca ayat 20 surah Al-Ahqaf [46]: Dan ingatlah ketika
orang-orang kafir dihadapkan ke Neraka, Kepada mereka dikatakan kamu
telah menghabiskan rezekimu yang baik (kenikmatan) dalam kehidupan
duniamu dan kamu telah bersenang-senang dengannya, maka kini kamu
dibalas dengan siksaan yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan
diri dimuka bumi tanpa hak dan kamu telah berbuat kefasikan. Seketika
itu Umar menolak air yang dihidangkan itu dengan alasan agar
kenikmatan yang disediakan untuknya di akhirat tidak berkurang.
Selain itu ada juga tipe sang arif,
mereka adalah yang menyadari betapa besar anugerah yang diperolehnya
dan betapa bijaksananya Allah dalam ketetapan dan perbuatan-Nya.
Kesadaran ini mendorongnya untuk beribadah karena kebijaksanaan-Nya. Ia
menyadari bahwa dimanapun ia ditempatkan dan bagaimanapun keadaannya
pasti adalah yang terbaik, dan dia sendirilah yang akan mendapatkan
manfaat dari ibadah yang dilakukannya. Sebagian yang lain
menambahkannya dengan tipe budak atau buruh yang takut
terhadap majikannya. Jadi seseorang beribadah karena dorongan takut
kepada siksa neraka yang pada hakikatnya menggambarkan budak atau buruh
terhadap hukuman majikannya jika tidak menuruti perintahnya. Lantas
bagaimana dengan kita? Termasuk tipe apakah kita? Jika tidak pada
ketiganya maka ada satu tipe lagi yang banyak ditemukan yaitu tipe robot,
tipe ini berbeda dengan tipe pedagang yang berharap, buruh atau budak
yang takut dan sang arif yang bersyukur. Seperti halnya Robot bergerak
sesuai dengan yang diprogramkan dan tidak mengerti esensi dan tujuan
yang dilakukannya. Seperti dalam ibadah yang dilakukan otomatis tanpa
pemikiran dan penghayatan hanya karena aktivitas itu yang rutin dan
biasa kita lakukan. Maka tidak heran ketika kita melakukan shalat yang
teringat adalah bisnis, kenikmatan duniawi dll. Semoga kita tidak
termasuk tipe yang keempat ini karena tidak ada yang lebih yang kita
dapatkan kecuali kelelahan semata.
Wallahu a’lam bis showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar