Rabu, 01 Februari 2012

Ibadah Sebagai Tujuan Hidup

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku
(Q.S. Ad-Dzariyat [51]: 56)
Ketika Nabi Muhammad SAW diutus membawa risalah Islam, Jazirah Arab dan peradaban besar seperti Romawi dan Persia sedang berada pada potongan sejarahnya yang paling kelam, manusia-manusia di zaman itu kehilangan arah dan tersesat di belantara kehidupan. Mereka tidak lagi memahami makna dan hakikat kehidupan dan ke muara mana bahtera kehidupan harus menuju. Saat Beliau (Nabi Muhammad SAW) melihat itu semua beliau menjelaskan misi hidup manusia dengan membacakan firman seperti di atas.
Ibadah, inilah misi hidup kita. Secara harfiah ibadah adalah ketundukan dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah. Maka makna paling hakiki dari ibadah adalah menjadikan semua gerak kita, baik gerak fisik maupun gerak pikiran dan jiwa, senantiasa mengarah kepada apa yang dicintai dan diridhai Allah SWT. Dalam makna ini seluruh pikiran, seluruh perasaan, ucapan dan tindakan baik ketika kita hanya berhubungan dengan Allah (ibadah mahdhah) maupun ketika kita berhubungan dengan sesama dan lingkungan (ibadah ghoiru mahdhah) akan bergerak menuju satu titik ”Allah SWT”, begitulah hingga akhirnya dengan sadar kita berikrar, Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta Alam (Q.S. Al-An’am [6]: 162).
Ada beberapa alasan yang dapat dijadikan bahan renungan, mengapa kita harus beribadah kepada Allah SWT. Diawali dengan pernyataan bahwa ibadah bukan keharusan melainkan kebutuhan. Pertama, karena manusia butuh kepada Allah, artinya Allah lah yang telah mencukupkan segala sesuatunya. Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi ini tidak dengan tangan kosong melainkan dengan kecukupan bekal, pedomannya adalah AlQur’an dan sunnah utusan-Nya Muhammad SAW. Manusia juga diberi akal untuk mempertahankan hidupnya. Semua itu menunjukkan bahwa manusia tidak berdaya, bukanlah apa-apa dan sangat bergantung kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya:
Hai manusia kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah yang Maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha terpuji (Q.S. Fathir [35]: 15).
Hal yang paling penting adalah bagaimana manusia menumbuhkan kesadaran akan rasa butuh di dalam hati kepada Allah, salah satu bukti bahwa kita butuh kepada Allah adalah dengan doa. Doa merupakan manifestasi dari rasa butuh kita kepada Allah, sebagaimana yang Allah perintahkan dalam firman-nya:
Dan Tuhanmu berfirman, berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya, orang –orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina (Q.S. Al-Mukmin [40]: 60).
Dengan demikian tidak ada yang dapat mewakili dan mengungkap perasaan butuh, seperti wujud hamba yang sedang berdoa dengan penuh haru biru. Hal ini menunjukkan mengapa Nabi SAW menyatakan bahwa:” Doa itu adalah Ibadah” (H.R. Abu Daud dan At-Tirmidzi). Maka ketika seorang sahabat selalu langsung meninggalkan masjid setelah shalat tanpa berdoa, Nabi pun menegurnya dengan pertanyaan, “Apakah kamu sama sekali tidak punya kebutuhan kepada Allah?” sahabat itupun terperanjat dan menyadari kekhilafannya, maka ia pun senantiasa berdoa.
Kedua, ibadah merupakan hak Allah atas manusia. Allah sebagai Pencipta alam dan seisinya mempunyai hak atas apa-apa yang diciptakan-Nya, yang sekaligus menjadi kewajiban yang harus dipenuhi oleh mahkluk-Nya yaitu ibadah (mengabdi).
Ketiga, Ibadah adalah mata air kebebasan. Kebebasan di sini dimaknai sebagai kebebasan yang membebaskan bukan kebebasan yang membelenggu. Pada dasarnya semua manusia pasti menjadi ‘abdun (hamba). Ada manusi yang menghamba pada popularitas, maka ketika menjadi hamba ini penampilan dan gaya hidup menjadi prioritas dalam hidupnya, sekalipun harus menghalalkan segala cara. Ada yang menjadi hamba  jabatan yang takut jabatannya akan tumbang, hingga ketakutan-ketakutan tersebut menjadi belenggu yang menyesakkan hati. Akan tetapi jika segala sesuatunya dipersembahkankan kepada Allah maka tidak ada ketakutan yang merasuki jiwanya kecuali harapan akan ridha dan surga-Nya.
Keempat, Ibadah merupakan makanan ruhani. Manusia seringkali tidak proporsional dan tidak adil dalam memahami dan memberikan perhatian terhadap kebutuhan kedua komponen yang ada dalam dirinya yaitu jasmani dan ruhani. Manusia tidak pernah salah dalam mengenali dan memenuhi kebutuhan jasmaninya, organ-organ tubuh seperti, mata, hidung, mulut, dan berapa banyak materi yang dikelurkan untuk perawatan, suplemen, makanan yang bergizi, fasilitas kenyamanan dll untuk mencukupinya. Oleh karena itu kita harus proporsional dalam memenuhi kebutuhan ruhani kita dengan memperbanyak amal shalih, berdzikir selain dari ibadah pokok (mahdhah).
Kelima, ibadah adalah ujian Rabbani. Mengapa demikian? Pada kenyataan sehari-hari sering kita lihat ujian sebagai sarana untuk mengetahui kemampuan seseorang dalam bidang tertentu. Sebagai contoh, bagi siswa atau mahasiswa, ujian menjadi syarat mutlak yang harus dilewati untuk naik ke jenjang yang lebih tinggi pada lembaga pendidikan, maka demikian juga dengan perintah beribadah. Selama berada di kampus kehidupan dunia sebagai sarana ujian untuk naik ke jenjang berikutnya yaitu kehidupan akhirat, maka yang menjadi ukuran adalah seberapa banyak amal yang berstatus sebagai ibadah kepada Allah. Jika amalan yang berstasus ibadah lebih banyak timbangannya dari pada amalan yang tidak berstasus ibadah (sia-sia), maka surga menjadi haknya. Sebaliknya, jika amalan yang berstasu ibadah lebih sedikit daripada amalan yang sia-sia/keburukan maka neraka tidak bisa ditolak.
Oleh karena itu niat dalam amal menjadi sangat penting, karena niat menjadi awal penentu bagi setiap amalan kita sebagaimana dalam kaidah fikih “al-umuru bimaqashidiha” setiap amalan bergantung kepada niatnya, hendaklah kita bertanya kepada hati nurani kita yang tidak pernah salah sebelum melakukan sesuatu, untuk siapakah amalan kita diperuntukkan? Atau karena sipakah kita melakukan sesuatu?
Menurut Ibnu Sina, ada beberapa tipe manusia dalam kaitannya dengan ibadah. Pertama adalah tipe pedagang. Tujuan pokok seseorang yang berdagang ialah mendapatkan keuntungan, sama halnya seseorang melakukan ibadah, dalam hal ini Ibadah Mahdhah. Ia beribadah adalah demi memperoleh imbalan yang menguntungkan yaitu surga. Sebagaimana dikisahkan, suatu ketika udara sangat panas dan kerongkongan khalifah Umar r.a serasa terbakar. Beliau lalu meminta segelas air, namun sebelum air dihidangkan tiba-tiba beliau mendengar seseorang membaca ayat 20 surah Al-Ahqaf [46]: Dan ingatlah ketika orang-orang kafir dihadapkan ke Neraka, Kepada mereka dikatakan  kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik (kenikmatan) dalam kehidupan duniamu dan kamu telah bersenang-senang dengannya, maka kini kamu dibalas dengan siksaan yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri dimuka bumi tanpa hak dan kamu telah berbuat kefasikan. Seketika itu Umar menolak air yang dihidangkan itu dengan alasan agar kenikmatan yang disediakan untuknya di akhirat tidak berkurang.
Selain itu ada juga tipe sang arif, mereka adalah yang menyadari betapa  besar anugerah yang diperolehnya dan betapa bijaksananya Allah dalam ketetapan dan perbuatan-Nya. Kesadaran ini mendorongnya untuk beribadah karena kebijaksanaan-Nya. Ia menyadari bahwa dimanapun ia ditempatkan dan bagaimanapun keadaannya pasti adalah yang terbaik, dan dia sendirilah yang akan mendapatkan manfaat dari ibadah yang dilakukannya. Sebagian yang lain menambahkannya dengan tipe budak atau buruh yang takut terhadap majikannya. Jadi seseorang beribadah karena dorongan takut kepada siksa neraka yang pada hakikatnya menggambarkan budak atau buruh terhadap hukuman majikannya jika tidak menuruti perintahnya. Lantas bagaimana dengan kita? Termasuk tipe apakah kita? Jika tidak pada ketiganya maka ada satu tipe lagi yang banyak ditemukan yaitu tipe robot, tipe ini berbeda dengan tipe pedagang yang berharap, buruh atau budak yang takut dan sang arif yang bersyukur. Seperti halnya Robot bergerak sesuai dengan yang diprogramkan dan tidak mengerti esensi dan tujuan yang dilakukannya. Seperti dalam ibadah yang dilakukan otomatis tanpa pemikiran dan penghayatan hanya karena aktivitas itu yang rutin dan biasa kita lakukan. Maka tidak heran ketika kita melakukan shalat yang teringat adalah bisnis, kenikmatan duniawi dll. Semoga kita tidak termasuk tipe yang keempat ini karena tidak ada yang lebih yang kita dapatkan kecuali kelelahan semata.
Wallahu a’lam bis showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.